Bukan kita yang hebat, Tapi Allah yang memudahkan

Bukan kita yang hebat, Tapi Allah yang memudahkan


Harian

Seringkali ketika kita berhasil mencapai sesuatu, muncul perasaan bangga atau bahkan ujub dalam hati. Kita merasa bahwa keberhasilan itu sepenuhnya berkat usaha, kecerdasan, atau kerja keras kita sendiri. Padahal, dalam Islam, setiap keberhasilan dan nikmat yang kita peroleh adalah hasil dari pertolongan dan kemudahan yang Allah berikan. Tanpa izin dan rahmat-Nya, kita tak akan mampu meraih apa pun.

Bukan Kita yang Hebat, Tapi Allah yang MemudahkanSeringkali ketika kita berhasil mencapai sesuatu, muncul perasaan bangga atau bahkan ujub dalam hati. Kita merasa bahwa keberhasilan itu sepenuhnya berkat usaha, kecerdasan, atau kerja keras kita sendiri. Padahal, dalam Islam, setiap keberhasilan dan nikmat yang kita peroleh adalah hasil dari pertolongan dan kemudahan yang Allah berikan. Tanpa izin dan rahmat-Nya, kita tak akan mampu meraih apa pun.

Seringkali ketika kita berhasil mencapai sesuatu, muncul perasaan bangga atau bahkan ujub dalam hati. Kita merasa bahwa keberhasilan itu sepenuhnya berkat usaha, kecerdasan, atau kerja keras kita sendiri. Padahal, dalam Islam, setiap keberhasilan dan nikmat yang kita peroleh adalah hasil dari pertolongan dan kemudahan yang Allah berikan. Tanpa izin dan rahmat-Nya, kita tak akan mampu meraih apa pun.Seringkali ketika kita berhasil mencapai sesuatu, muncul perasaan bangga atau bahkan ujub dalam hati. Kita merasa bahwa keberhasilan itu sepenuhnya berkat usaha, kecerdasan, atau kerja keras kita sendiri. Padahal, dalam Islam, setiap keberhasilan dan nikmat yang kita peroleh adalah hasil dari pertolongan dan kemudahan yang Allah berikan. Tanpa izin dan rahmat-Nya, kita tak akan mampu meraih apa pun.

Allah ﷻ berfirman:

وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ ٱللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْـَٔرُونَ

“Dan apa saja nikmat yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (QS. An-Nahl: 53)

Ayat ini mengingatkan kita bahwa segala nikmat yang ada pada kita, termasuk kemampuan dalam meraih kesuksesan, sesungguhnya datang dari Allah. Bukan kita yang hebat, tapi Allah yang memudahkan jalan kita.

Sikap merasa diri hebat dan tidak bersandar pada Allah dapat membawa kita pada kebinasaan. Salah satu contoh yang Allah kisahkan dalam Al-Qur'an adalah kisah Qarun. Qarun adalah seorang yang sangat kaya dari kaum Nabi Musa, namun ia sombong dan lupa bahwa harta kekayaan yang ia miliki adalah anugerah dari Allah, bukan hasil dari kekuatan atau kepandaiannya semata.

قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِىٓ ۚ أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِۦ مِنَ ٱلْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا ۚ وَلَا يُسْـَٔلُ عَن ذُنُوبِهِمُ ٱلْمُجْرِمُونَ

"Qarun berkata, 'Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.'" (QS. Al-Qasas: 78)

Qarun merasa bahwa kekayaannya adalah hasil dari kehebatannya sendiri. Ia sombong dan angkuh, bahkan mengabaikan peringatan dari kaumnya yang mengingatkannya untuk bersyukur dan menggunakan hartanya di jalan Allah. Akibat dari kesombongannya, Allah pun menurunkan hukuman yang berat kepadanya.


فَخَسَفْنَا بِهِۦ وَبِدَارِهِ ٱلْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُۥ مِن فِئَةٍ يَنصُرُونَهُۥ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُنتَصِرِينَ

"Maka Kami benamkan dia bersama rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah, dan tiadalah ia termasuk orang-orang yang dapat membela diri." (QS. Al-Qasas: 81)

Kisah Qarun menjadi pelajaran penting bagi kita. Ketika kita merasa bahwa kita hebat dan lupa bahwa semua nikmat datang dari Allah, maka itu bisa menjadi awal kehancuran kita. Qarun adalah contoh nyata bagaimana sifat sombong dan menganggap diri hebat dapat membawa kebinasaan. Ia tenggelam dalam hartanya yang semula dianggapnya sebagai sumber kekuatan.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ mengingatkan:
“Siapa yang merendahkan dirinya, maka Allah akan meninggikan derajatnya. Dan siapa yang sombong, maka Allah akan merendahkannya.” (HR. Muslim)

Para ulama besar juga selalu mengingatkan pentingnya sikap tawadhu’ (rendah hati) dan selalu menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah pemberian dari Allah. Imam Al-Ghazali dalam *Ihya Ulumuddin* menjelaskan bahwa seorang mukmin sejati akan selalu merendahkan diri dan menyadari bahwa semua yang ada padanya hanyalah titipan. Tidak ada yang patut ia banggakan dari dirinya sendiri, karena pada hakikatnya ia hanyalah hamba Allah yang bergantung penuh pada-Nya.

Maka, mari kita ingat bahwa bukan kita yang hebat, tetapi Allah yang memudahkan. Kisah Qarun mengajarkan kita untuk selalu bersyukur dan mengingat bahwa keberhasilan dan nikmat hanyalah anugerah dari Allah. Hanya dengan rasa syukur dan sikap tawadhu’, kita bisa menjaga diri dari sifat sombong dan ujub yang merusak iman kita.


Barakallahu fiikum,

kutipan • Oktober 14, 2024